___"The Strokes"___

___"The Strokes"___
Neo Garage

Kamis, 18 Desember 2008

Garage Rock Modal Pas-pasan, tapi Kreatif



Kenal The Strokes? Pernah lihat klip ajaibnya The White Stripes? Atau jangan-jangan di antara koleksi CD kita sudah terselip nama The Datsuns? Wah, jangan-jangan kita sudah terserang demam garagerock!

Garasi dan musik rock, sepintas memang kayak Jaka Sembung bawa golok, alias enggak nyambung goblok. He-he-he.... Tapi nyatanya, dua kata yang seperti berbeda "kodrat" itu, kalau disinergikan, mampu menghasilkan gelombang yang tidak kecil riaknya di kancah musik dunia.

Yap, hampir setahun belakangan ini, musik dunia memang sempat gonjang-ganjing diserbu band-band beraliran garage rock. Kuping kita (sebagai penikmat musik) pun jadi familiar sama nama-nama band berawalan "The", macam The Strokes, The Vines, The Hives, The Datsuns, sampai The White Stripes dan di Indonesia seperti The Changcuters yang meniru band The Beatles and The Rolling Stones.

Kencangnya yang dibuat sama band-band garage rock itu bahkan sampai menginspirasi jagoan melodic punk, SUM 41, buat mengubah nama jadi The Sums di salah satu klip mereka. Maksudnya sih mencibir, tapi adanya klip itu paling tidak juga bisa dilihat sebagai semacam "pengakuan" Derrick cs kalau garage rock memang benar-benar "mengancam"!


Piranti murahan

Ngomong-ngomong, dari mana sih gelombang ini bermuasal?

Beberapa catatan bilang bahwa riak pertama garage rock itu terjadi di paruh akhir 1950-an hingga awal 1960-an di Amerika Serikat. Waktu itu, British Invasion lagi merajalela. Band-band macam The Beatles dan The Rolling Stones lagi benar-benar dipuja-puja sama anak muda di Negeri Paman Sam itu.

Selain musik mereka laris dijadikan pengiring di tiap lantai dansa, polah dua band tersebut juga menginspirasi anak-anak muda Amrik untuk membentuk band dan memainkan musik yang enggak jauh beda.

Begitulah. Ditambah sama kondisi di mana instrumen musik tuh gampang banget didapat, makin terpacu saja anak-anak itu nge-band. Tempat latihannya? Ya, di mana lagi kalau bukan di garasi rumah mereka sendiri? Maklumlah, zaman itu kan studio latihan langka punya, man!

Kemampuan musik cenderung pas-pasan, ditingkah sama suara kotor dari piranti murahan, tidak menyurutkan semangat band-band itu untuk pol-polan dalam berkarya. Terbukti belakangan, elemen-elemen itu malah jadi semacam benang merah dan ciri khas bagi musik yang dibesut sama band-band garasi ini. Sampai sekarang.

Maka, jangan heran kalau mendengar hasil rekaman band-band garage rock zaman sekarang, yang justru didominasi sama suara-suara "busuk", cenderung lo, dan tidak secanggih hasil rekaman modern pada umumnya. Gaya mixing dan pemilihan sound raw (baca: mentah) macam itulah yang memang jadi kuncian mereka!

Anyway, entah disadari atau tidak, polah ’band-band kelas garasi’ tahun 1960-an yang serba spontan, simpel, tapi tetap energetik itu, ternyata menarik perhatian beberapa produser rekaman. Ada semacam kesegaran yang ditawarkan sama band-band itu. Tidak lama, muncul deh nama-nama kayak The Sonics, The Seeds, The Count 5, serta The Kinks, yang belakangan kerap dibilang sebagai "dewa-dewa"-nya garage rock.

Memasuki era 1970-an, gaung dari band-band mulai menghilang. Tersapu sama banjir progresif rock (seperti Yes, Genesis, dan lain-lain) dan hard rock (misal: Led Zeppelin, Deep Purple, dan rekan-rekan), yang kalau manggung berskala stadion dan lebih menawarkan sofistikasi tontonan serta komposisi musik.

Namun, semangatnya tidak padam. Formulasi musik yang simpel tapi sangat agresif itu diadopsi sama band-band punk yang tumbuh di akhir dekade 1970-an. Lebih dari itu, filosofi punk yang ’Do-It-Yourself’ (D.I.Y.) pun bisa dibilang merupakan salah satu turunan dari sikap band-band garage rock era 1960-an, yang dari dulu memang sudah kerap memproduksi sendiri album mereka.

The Ramones di New York, serta Sex Pistols di London, yang boleh dikategorikan sebagai band punk gelombang pertama, termasuk mengadopsi formulasi tersebut.


Mentah dan spontan

Lantas, apa pula yang bikin garage rock muncul lagi setahun belakangan ini? Hm... jujur saja, tidak ada yang tahu pasti kenapa. Yang jelas, musik model begini selalu punya magnet sendiri. Buktinya hampir di setiap dekade, muncul saja band-band pengusung musik dan attitude model begini. Biarpun riaknya tidak sebesar sekarang ini, selalu saja ada tempat bagi garage rock.

Sementara pengamat bilang bahwa garage rock itu merupakan alternatif yang paling jitu, jika di satu masa genre rock sudah kehilangan akal untuk menggeliat. Sebagai bukti, mereka bilang, adalah ketika punk -yang notabene turunan dari garage rock-maju ke muka, menggantikan arus progresif yang mulai kehilangan pamor di akhir dekade 1970-an. Belakangan riak itu lantas luruh digerus sama new wave (1980-an).

Itu juga sempat terjadi saat glam metal mencapai titik jenuh di awal 1990-an. Band garage rock macam The Gories, The Pixies, serta The Makers, kala itu langsung menyeruak sebelum akhirnya "hilang" ditelan sama gemuruh grunge.

Kejadian yang tidak jauh beda, berulang belum lama ini. Di paruh awal 2002, kuping publik sudah mulai lelah mendengar keluhan, omelan, serta teriakan frustrasi yang kerap dilontarkan sama band-band nu-metal. Di saat yang hampir bersamaan pula muncul nama-nama The Strokes, The Hives, lalu The Vines, yang langsung merebut perhatian.

Dibalut dengan dandanan bernuansa retro alias jadul, musik lo fi yang mereka tawarkan dengan cepat meracuni kuping-kuping yang lelah tadi. Dengan cepat pula, jumlah para pengusung garage macam ini bertambah.

Kayak jamur di musim hujan, nama-nama macam The White Stripes, The Libertines, The Datsuns, Black Rebel Motorcycle Club, The Donnas, Yeahs Yeahs Yeahs, dan belakangan, Kings Of Leon serta The Darkness, langsung membanjiri pasar musik dengan album-album mereka.

Biar kesannya semua mengandalkan attitudes dan gaya bermusik yang sama. (raw, straight forward, tidak banyak "bunga-bunga", dengan lirik yang cenderung menyuarakan sikap pribadi mereka terhadap lingkungan sekitar. Bukan kebingungan, bukan pula keluhan). Namun, tetap saja ada beberapa detail yang membedakan antara satu band dengan yang lain.

The Strokes contohnya. Band yang digawangi oleh Julian Casablancas (vokal), Nikolai Fraiture (bas), Fabrizio Moretti (drum), Albert Hammond Jr. (gitar), dan Nick Valensi (gitar) ini mengambil gaya proto-punk, macam Velvet Underground atau Television (band-band yang jaya di awal 1970-an), sebagai acuan gaya maupun musik mereka. Lewat album Is This It (2001), kuintet asli New York ini langsung dianggap sebagai pelopor kebangkitan garage rock era 2000-an.

Lain lagi dengan The White Stripes. Cuma digawangi oleh dua kakak beradik, Jack (vokal/gitar) dan Meg White (drum), awal pemunculan mereka lewat album White Blood Cells (2001), langsung dipuji-puji kalangan kritisi musik. Mencampur unsur rock dengan black blues-nya Robert Johnson, atau Blind Willie McTell (nama-nama para pelopor musik blues). Tahun 2003 lalu, duet ini kembali merilis album berjudul Elephant.

Yang paling kontradiktif adalah gaya yang dipamerin gerombolan asal Swedia, The Hives. Gimana tidak. Dengan gaya punk yang agresif, tapi band ini selalu tampil dengan stelan necis ala mod berwarna hitam-putih. Kuartet yang digawangi oleh Howlin’ Pelle Almqvist (vokal) Nicholaus Arson (gitar), Chris Dangerous (drum), Dr. Matt Destruction (bas), dan Vigilante Carlstroem (gitar) ini, melejit dengan singel Main Offender yang terserak di album Veni Vidi Vicious (2002).

Sementara musik yang disajikan oleh Kings Of Leon, seakan mengajak kita kembali terlempar ke zaman kejayaan The Allman Brothers Band dan southern rock di masa lalu. Terbentuk di Tennessee, kuartet ini terdiri dari 4 bersaudara Followill, Caleb (vokal/gitar), Nathan (drum), Jared (bas), dan Matthew (gitar). Lewat album Youth And Young Manhood (2003), polah mereka langsung saja jadi bahan omongan.

Akankah gelombang garage rock kali ini bisa bertahan lebih lama ketimbang gelombang-gelombang sebelumnya? Tidak ada yang bisa memprediksi. Dan rasanya tidak perlu juga. Toh, sampai sekarang semuanya masih asik-asik saja buat dinikmati. Iya enggak?